Tatapan Bayi Jadi Indikator Awal Autisme

Tanda-tanda autisme pada anak sudah bisa diamati sejak dini atau usia bayi. Tatapan bayi bisa menjadi indikator awal untuk autisme.

Peneliti di Kennedy Krieger bekerjasama dengan rekan-rekan di University of Delaware, berusaha membuat penelitian yang menyelidiki tentang tatapan bayi.

Dalam penelitian tersebut, peneliti membuat suatu pembelajaran sosial multi-stumulus, menempatkan bayi di kursi rancangan khusus dengan joystick (mainan gantung) yang terpasang dan mudah dijangkau, dan menaruh mainan musik terletak di sebelah kanan dan pengasuhnya (misalnya ibu) di sebelah kiri.

Peneliti mengevaluasi seberapa cepat bayi belajar dengan joystick untuk mengaktifkan mainan musik dan bagaimana tingkat keterlibatan sosial bayi dengan pengasuhnya.

Tim peneliti menemukan bahwa bayi yang berisiko tinggi autisme akan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk mencari dan terlibat dengan pengasuhnya. Bayi akan lebih fokus pada rangsangan non-sosial (mainan musik atau joystick).

Hal ini menunjukkan adanya gangguan dalam pertumbuhan yang terkait dengan perhatian si bayi. Dalam perkembangannya, kondisi ini akan berkembang menjadi autisme. Dan sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan bayi, akan terlihat tanda-tanda autisme lainnya.

"Studi ini menunjukkan bahwa kelemahan tertentu pada anak, khususnya autisme, sudah bisa dideteksi sejak anak berusia enam bulan (saat interaksi harusnya sudah terjadi)," ujar Dr Rebecca Landa, pemimpin studi, seperti dilansir dari TopNews, Jumat (3/9/2010).

Menurut Dr Landa, bayi autisme biasanya tidak berinteraksi sosial atau bergerak sendiri. Tetapi bayi autisme ini terkadang masih bisa merespons bila ibu atau pengasuhnya memberikan rangsangan, sehingga perbedaan halus ini dapat dengan mudah diabaikan oleh beberapa orangtua.

Namun, penelitian ini tidak menunjukkan bukti adanya gangguan belajar pada bayi berisiko tinggi autisme. "Baik bayi autisme ataupun tidak, keduanya mempelajari tugas multi-stimulus dengan tingkat yang sama," tambah Dr Landa.

Temuan ini menunjukkan bahwa seperti halnya anak autis yang lebih tua, bayi yang berisiko tinggi autisme masih dapat mengambil manfaat dari kuantitas pembelajaran atau rangsangan yang diberikan, sehingga menyebabkan efek sederhana dan memberi kesempatan untuk membantu perkembangannya.

Bila sejak dini sudah diketahui bahwa bayi berisiko tinggi autisme, orangtua sebaiknya sering memberi rangsangan, baik secara sosial (interaksi dengan orangtua) atau non-sosial (menggunakan mainan). Hal ini bisa mengurangi risiko bayi mengembangkan autisme.

Untuk menindaklanjuti studi, temuan ini akan segera diterbitkan pada Center for Autism and Related Disorders di Kennedy Krieger Institute.

Laki-laki yang memperoleh penghasilan lebih kecil dari istrinya biasanya mengalami tekanan psikologis berupa rasa sakit secara emosi. Sebuah penelit

Laki-laki yang memperoleh penghasilan lebih kecil dari istrinya biasanya mengalami tekanan psikologis berupa rasa sakit secara emosi. Sebuah penelitian menunjukkan laki-laki yang secara finansial tergantung pada istrinya lebih memungkinkan untuk melakukan selingkuh.

Pria lima kali lebih mungkin untuk melakukan penipuan atau perselingkuhan jika penghasilannya di bawah istri. Para peneliti percaya bahwa beberapa laki-laki ini berusaha mencari orang lain untuk mengimbangi rasa sakit emosional karena merasa hilangnya status sebagai pencari nafkah.

Sebuah studi kontroversial lainnya pernah dilakukan oleh peneliti dari Cornell University yang menunjukkan bahwa adanya kesenjangan penghasilan antara laki-laki dengan perempuan memungkinkan terjadinya ketidakstabilan pada pernikahannya.

Peneliti mengungkapkan bahwa rahasia hubungan yang setia dan abadi adalah perempuan memiliki penghasilan yang 25 persen lebih kecil dibandingkan dengan suaminya. Hal ini akan mempersempit kesenjangan dan lebih memungkinkan bagi seseorang untuk menjadi setia.

Tapi laki-laki yang memiliki penghasilan jauh lebih tinggi dibandingkan istrinya, juga memungkinkan bagi laki-laki tersebut untuk melakukan perselingkuhan atau memiliki istri lagi.

"Pada satu sisi laki-laki yang memiliki penghasilan kurang dari istrinya dapat mengancam identitas gender laki-laki sebagai pencari nafkah. Tapi di sisi lain laki-laki yang memiliki penghasilan lebih tinggi juga memungkinkan untuk melakukan kecurangan atau perselingkuhan," ujar sosiolog yang menjadi ketua penelitian ini, Christin Munsch, seperti dikutip dari Telegraph, Rabu (18/8/2010).

Munsch menambahkan bahwa orang-orang yang melakukan perselingkuhan kemungkinan disebabkan adanya perasaan tidak bahagia. Hal inilah yang mendorong seseorang untuk mencari kebahagiaan lain dengan orang lain.

Namun perselingkuhan yang terjadi bisa memberikan dampak buruk bagi anak-anak dari pasangan, karena anak-anak butuh sosok panutan dari orangtuanya. Kondisi ini tentu saja bisa berdampak terhadap perkembangan psikologis si anak.

Kondisi ini juga bisa berdampak terhadap kesehatan pasangan tersebut, seperti menyebabkan stres, depresi atau yang paling parah dapat meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi menular seksual.